Jun 28, 2012

Budaya Mengumpat

Saya teringat sebuah peristiwa di acara Makassar International Writers Festival 2012. Salah seorang teman yang tampil membacakan puisi sempat ditertawai oleh segelintir penonton. Penyebabnya adalah teman kita itu masih sangat kental logat Bugisnya, jadilah puisi yang dideklamasikannya okkots di sana sini. Presenter pada malam itu akhirnya menumumkan untuk bisa lebih menghormati penampil. Apalagi okkots merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya Bugis Makassar.


Mencela saat ini sepertinya sudah menjadi hal yang biasa. Entah dari mana kebiasaan ini akhirnya menjadi umum dilakukan. Mungkin hal yang masih wajar jika melihat preman-preman pasar saling memanggil dengan kata makian. Namun jika yang melakukannya justru orang dengan gelar akademik, tentu ada hal yang tidak biasa.

Pengaruh media mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Film barat banyak yang menggunakan bahasa-bahasa slum. Belum lagi acara komedi lokal yang menjual olok-olokan sebagai bahan utama lawakannya. Model olok-olokan mulai dari olok-olok secara fisik, mengolok logat daerah sampai mengolok kesalahan penggunaan bahasa asing. Awalnya olok-olokan ini sebenarnya adalah bahan bercanda. Namun bercanda tentu ada batasannya. Bercandapun dilakukan jika kita mengolok di depan yang bersangkutan secara langsung. Tapi jika dilakukan "di belakang", tentu lain cerita.

Mengolok, menghina, mengumpat dan apapun istilahnya pastilah bukan perbuatan yang baik. Manusia lahir memang dalam kondisi berbeda, namun itu semua adalah nasib.  Manusia lahir dengan menerima apa yang diberikan kepadanya. Manusia lahir tidak dengan memesan nasibnya terlebih dahulu, baik itu wajah, orang tua, kekayaan, ras, suku dan kecerdasan. Perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lain hanya menunjukkan pebedaan peran apa yang mereka emban di muka bumi.

Tidak ada gunanya yang pintar mengolok yang bodoh, yang kaya menghina yang miskin, yang putih mencela yang hitam dan yang cantik mencaci yang jelek. Semua itu hanya membawa ke perbedaan semu. Dan pada akhirnya yang paling mulia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.

Saya bukan sok suci dari mencela. Tapi mari kita bersama-sama untuk saling mengingatkan agar tidak mencela orang  lain. Membantu orang lain berbuat yang benar lebih baik ketimbang mencela kesalahan orang, kan? Lagipula, celakalah bagi pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. 

No comments:

Post a Comment